Alkisah kampung kembar di Timur Jakarta



Suasana gedung pertemuan RW 03 Kelurahan Malaka, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, pada akhir pekan lalu tampak berbeda dibanding hari biasanya. Sabtu (15/10) sore, sejumlah warga berkumpul di gedung pertemuan yang terletak di antara gang-gang kecil padat rumah penduduk. Dengan menggunakan payung, satu per satu warga datang ke gedung yang juga disebut kantor RW.

Di dalam gedung sudah berkumpul beberapa orang. Setelah mengisi absensi warga, mereka duduk di kursi yang sudah disediakan pengurus RW. Hujan deras tak menyurutkan Robi Purwanto dan Firli Purwanti menyambangi gedung pertemuan. Terlebih, mereka mendapat undangan khusus dari sang Ketua RW 03 Andang Subaryono. Robi datang mengenakan batik dengan dominasi warna cokelat menyala. Firli mengenakan hijab dan dress batik cokelat panjang. Keduanya tampak kompak dan serasi.

Firli dan Robi berbaur dengan ibu-ibu lainnya. Firli yang sehari-hari bekerja sebagai guru, tampak asyik berbincang dengan Robi. Usia mereka 25 tahun. "Kami kemana-mana dikira pacaran. Pergi ke mal, misalnya beli HP, disangka pacaran," ujar Robi, akhir pekan lalu.
Ternyata, Robi dan Firli adalah kakak beradik. Robi lahir lima menit lebih dulu dibanding Firli. Dalam terminologi atau istilah yang terkenal di masyarakat Jawa, mereka kembar dampit atau kembar pengantin. Anak kembar yang terlahir laki-laki dan perempuan. Mereka lahir dan dibesarkan di Kelurahan Malaka Jaya. Di keluarga besarnya, tidak hanya Robi dan Firli yang kembar, saudara dari ayahnya juga ada yang terlahir kembar.

Suasana di gedung pertemuan semakin sore semakin ramai. Dua lelaki paruh baya memasuki gedung pertemuan. Keduanya kompak berbusana batik cokelat. Wajah keduanya mirip. Dengan ramah Pudjo Wibowo dan Pudjo Utomo menyapa satu per satu warga yang hadir. Mereka dilahirkan di daerah Kampung Melayu. Waktu kelahiran keduanya hanya berselang 3 menit saja. Saat usia 10 tahun, mereka pindah dan menetap sampai saat ini di Kelurahan Malaka Jaya. "Kami dari tahun 1979 di sini. Kembar pertama di daerah sini," kata Pudjo.

Di Gang 3 rumahnya, ada enam pasangan kembar. Sebagian pindah, sisanya masih bertahan di sana. Keduanya didapuk sebagai kembar tertua di RW 03. Sebelum Pudjo Utomo dan Pudjo Wibowo, ada satu pasangan kembar yang jauh lebih tua yakni Pariyah dan Pariyem yang berusia 74 tahun. Namun Pariyah sudah meninggal.
Dengan bercelana abu-abu dan kemeja kotak-kotak, Riko Prawoto dan Riki Prawoto datang ke gedung pertemuan bersama ibunya, Surati. Keduanya mengisi daftar hadir dan langsung duduk di barisan terdepan. Keduanya tak banyak bicara. Menyusul kemudian Attihya dan Aliyya yang kompak berbaju merah muda. Mereka yang masih duduk di bangku kelas 6 SDN Malaka Sari 05 Pagi itu tampak malu-malu. Namun mereka tak sungkan melempar senyum dan menyalami warga sebelum duduk di kursi barisan depan. Di samping Atthiya dan Aliyya, duduk dua bocah kembar lainnya yakni Fina dan Fani yang baru berusia empat tahun. Keduanya kompak mengenakan baju yang bermotif sama. Sore itu, ada tujuh pasangan kembar yang berkumpul di gedung tersebut.

Sejak 2014, RW 03 Kelurahan Malaka Jaya tersohor dengan sebutan kampung kembar. Warga tidak mengetahui secara pasti pencetusnya. "Ya mungkin karena di sini banyak orang kembar," ujar Ketua RW 03, Andang.

Andang mengetahui banyak warganya yang kembar setelah melakukan pendataan dua tahun lalu. Awalnya, dia diberi tahu bahwa di gang 3 RT 4, terdapat enam pasangan kembar. Berbekal rasa penasaran dengan kabar tersebut, dia melakukan pendataan. Benar saja, dari hasil pendataan warga, ditemukan 19 pasangan kembar. Namun saat ini hanya menyisakan 15 pasangan kembar. Hasan dan Husein (16) serta Deva dan Devi (10) pindah dari kampung tersebut.
Andang bangga kampungnya kini menjadi terkenal. Bahkan, camat dan lurah pun sudah mengetahui keunikan kampung kembar. Menurutnya, keunikan ini bisa menjadi ikon RW 03. Bahkan dia berharap semakin banyak anak yang lahir kembar di daerahnya. "Sekarang orang tahu kalau RW 3 itu ya kampung kembar," ucapnya.



Rata-rata, pasangan kembar yang ada di kampung itu heran dengan banyaknya orang kembar. Seperti pengakuan Riko. Meski di gang rumahnya banyak pasangan kembar, dia tidak menyangka justru jumlahnya sangat banyak dalam satu RW. Hal sama juga dirasakan Pudjo. Sejak kecil sampai saat ini sudah berkeluarga, warga masih sering memanggilnya dengan sebutan anak kembar. "Warga sini heran kok bisa banyak orang kembar. Pas pak RW mendata, ternyata banyak sekali orang kembar. Saya sih senang karena unik," ujar Pudjo Utomo.

Teman-teman sepermainan Firli dan Robi juga banyak yang mencari informasi dan kebenaran mengenai keunikan kampung kembar. Dengan penuh bangga Firli dan Robi, menceritakan keistimewaan kampung mereka yang membuat teman-temannya terheran-heran. Bahkan mereka mengundang teman-temannya untuk datang ke kampung mereka untuk membuktikan secara langsung.

Meski tidak memiliki hubungan darah satu dengan yang lain, para pasangan kembar ini berharap rasa kekeluargaan di antara mereka bisa semakin kuat. "Pengen sih bikin agenda rutin, atau arisan orang kembar. Ya semacam paguyuban buat orang kembar di RW 03," kata Firli sambil tersenyum.

Pudjo Wibowo berharap bisa memperpanjang barisan orang kembar di kampungnya. Dia mendambakan memiliki anak kembar yang bisa meramaikan suasana kampungnya. "Anak saya sekarang tiga. Dua putri, satu putra. Tapi jujur saya pengen juga punya anak kembar. Katanya kalau ada gen kembar bisa punya anak kembar juga," tutup Pudjo.
Alkisah kampung kembar di Timur Jakarta Alkisah kampung kembar di Timur Jakarta Reviewed by ratno on 02.41 Rating: 5